Halo,
saya Winda Sari, akrab dipanggil Winda atau panggilan lain oleh kawan-kawan
terdekat saya seperti “ayam pesek, bekantan atau winco” terbilang aneh tapi
itulah pertemanan. Agustus 2020 adalah bulan yang semakin meyakinkan saya untuk
maju dan mengubur dalam rasa ketidakpercayaan diri, yahh tepat bulan itu saya
telah berada pada titik semester 5 di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
setengah perjalanan menuju penyelesaian studi S1.
Saya
bukan orang paling pintar atau bahkan orang paling kuat, tapi saya berusaha
menjadi orang yang konsisten. Saya tumbuh dikeluarga sederhana, pantang bagi
saya mengatakan keluarga saya adalah kalangan tidak mampu sebab saya percaya
bahwa mereka dititipkan Tuhan untuk menjadi tonggak kuat yang memiliki jutaan
rahasia untuk membesarkan saya tanpa keluhan dan keputus-asaan. Saya ingat
betul perkataan mama saya bahwa “Tidak
penting orang lain mengetahui keadaan rumah atau berapa uang dikantongmu, sebab
yang merasakan perjuangan adalah dirimu sendiri. Jangan terlihat tidak mampu,
sebab semua orang punya kesempatan yang sama”.
Bapakku
seorang wiraswasta mengerjakan segala hal selama itu berada digaris halal
sedangkan, mama ku tak lain hanya seorang ibu rumah tangga. Tidak mudah bagi
mereka untuk menyekolahkan 2 orang anak hingga ke bangku perkuliahan dengan
penghasilan yang tidak menentu atau bahkan berada dibawah kata cukup dengan
setumpuk beban hidup yang sering kudengar disetiap percakapan malam mereka.
Mendengar ucapan pesimis orang lain terhadap keputusan orang tuaku untuk
menyekolahkan kami, tak cukup kuat untuk menumbangkan semangat juang orang
tuaku untuk terus menyekolahkan kami.
Semua
orang ingin sukses, termasuk saya. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya?
Sayapun masih mencari makna itu. Bukan tentang usaha saja, tapi seberapa besar
memantaskan diri untuk itu. Semua orang punya tantangan dan masa sulit,
termasuk saya. Gagal pertama pada seleksi berkas beasiswa bidik misi, sempat
menjatuhkan air mata saya sore itu. Bagaimana tidak, harapan terbesar saya
untuk meringankan beban orang tua untuk menginjak bangku perkuliahan adalah
bidik misi. Jarak 180 km dari rumah ke kampus tak menyurutkan semangat saya
untuk pulang ke rumah menyiapkan ulang berkas bidik misi, meskipun dengan memaksakan
diri tapi saya percaya bahwa apa yang saya lakukan tidak akan berpaling dari
apa yang saya dapatkan. Dalam waktu satu hari, 180 km saya lewati sebanyak 4
kali ditemani oleh bapak saya, cukup haru sebab hari itu hujan lebat tengah
setia menemani kami yang hanya mengendarai sepeda motor. Dibilang capek, tentu
saja. Tapi, yang cukup membuat saya ibah adalah harap cemas dari mata bapak
dibalik pintu seleksi berkas bidik misi. Untuk kesekian kalinya, Tuhan masih menyimpan
kejutan manis bagi saya, saya kembali dinyatakan tidak lulus beasiswa bidik
misi.
Dengan
rasa berat, semester awal saya lewati dengan membayar ukt (uang kuliah tunggal)
dan entah bagaimana caranya, orang tuaku memenuhi hal tersebut. Percayalah,
tidak mudah bagi mereka untuk memenuhi hal itu. Kembali lagi, semua orang punya
tantangan, termasuk saya. Sesulit apapun keadaan saya, saya selalu optimis
menjadi seorang pemenang bukan hanya seorang pemimpi.
Memutar
otak menutupi segala kebutuhan perkuliahan selalu berotasi di pikiran saya, tapi
sekali lagi tetaplah bekerja cerdas. Meskipun awalnya saya sempat mecari
peruntungan penyediaan name tag untuk
mahasiswa baru, tapi itu tidak sesuai dengan apa yang ingin saya gapai. Kuliah
adalah fokus utama, dan lomba kujadikan alternatif untuk menutupi beberapa
kebutuhan. Tidak mudah pastinya, puluhan lomba yang kuikuti tak henti memupuk
kecewa rasa kegagalan. Tapi sekali lagi, memantaskan diri, apakah usaha yang
saya lakukan telah cukup untuk menyandang kemenangan. Saya rasa itu relatif,
dan berusaha di keadaan sulit masih setia mendampingi. Pertengahan semester 2,
sudah kupastikan Tuhan telah membuka perlahan hadiah manis untukku, siapa
sangka saya dinyatakan lolos beasiswa bidikmisi meskipun sebelumnya saya pernah
dinyatakan lolos beasiswa pemerintah daerah tapi beasiswa bidik misi kujadikan
pilihan utama. Betul, bidik misi telah melegakan beberapa beban pikiran untuk
kuliah dan hingga kini membuka peluang untuk berprestasi. Percayalah kawan, ada
jutaan orang yang berharap bisa dititik sepertimu bahkan ada jutaan orang yang
tengah bermimpi tapi pilihan menjadi pemenang ada ditangan kamu. Bukan tentang
apa yang akan terjadi esok, tapi apa yang saya lakukan hari ini.
“Arahkan
mata Anda pada bintang-bintang dengan kaki tetap berpijak pada tanah.” - Theodore
Roosevelt.
Hanya orang yang memantaskan diri, mampu berada di garda kesuksesan.
Berikan versi terbaikmu gapai eskpektasimu. Gagal boleh saja, tapi sisakan
jutaan ruang kemenangan untuk satu kegagalan. Saya percaya hal tersebut, sebab
dari sekian kegagalan, akan ada hal manis yang Tuhan ciptakan. Gagal bukan
berarti jatuh, namun gagal mengajarkan saya untuk memantaskan diri berada di
puncak kemenangan. Dengan itu, beberapa poin kemenangan telah mengisi kegagalan
saya dan percayalah usaha hari ini akan kuwujudkan keberhasilan di esok hari.
Jangan terlalu lama berkawan dengan mimpi, sebab mimpi butuh kepastian.
Nyatakan usahamu, gerakkan tanganmu dan gapai ekspektasimu.
Sukses
bukan kebetulan, tapi kepastian dari diri sendiri
Sampai
bertemu kesuksesan.