Monday, May 4, 2020

Cerita Anak Yatim Piatu

1

Cerita Anak Yatim Piatu 
Ridhwan Karim 
Mimpi Semalam. Kulihat kedua mata Emak sembab. Perlahan-lahan mengalir butiran air bening di lereng pipinya. Lama-lama meluap dan membah. Dia menarik tanganku, kemudian menggenggam jemariku, dan berucap lirih. Suaranya parau.
“Perjalanan yang kita tempuh tidak pernah menampilkan dua jalan, terkadang kitalah yang membuat dua jalan itu ada di dada kita dalam bentuk lain yakni keraguan dan keyakinan. Ada bagian hidup yang kita inginkan namun tidak direstui takdir. Kita punya mimpi tapi kita tidak tahu takdir kita. Tetaplah bekerja untuk mimpimu, dan Allah yang akan tentukan takdirnya. Belajarlah dengan keras dan jangan lupa libatkan Allah di setiap usahamu purnakanlah dengan do’a yang tak putus-putus.  Do’a itu seperti kayuhan sepeda. Jika merasa belum sampai, kayuh, kayuh dan kayuh lagi. Mengulang-ngulang do'a itu seperti mengayuh sepeda, cepat atau lambat pasti bakalan sampai ke tujuannya. Ada yang cepat dan ada pula yang lambat, bahkan harus sabar dan bersusah payah untuk menggapainya, kuncinya cuma satu, jangan berhenti.”
Kemudian Emak memelukku, kupejamkan mata, kurasakan kehangatan hati Emak. Ia mengecup ubun-ubunku, ketika kubuka kelopak mataku yang mengatup sedari tadi tiba-tiba Emak hilang dalam rengkuhanku. Kulemparkan pandangan ke segala penjuru, kosong. Aku terperanjat kaget bangun dari tidur. Aku menghela napas panjang. Kuingat-ingat kehadiran Emak dalam mimpiku. Mencoba memahami maksud pesannya yang panjang itu.
Aku bangkit dari kasur, membuka gorden dan jendela. Jam di handphone baru menunjukkan pukul 06.31 pagi, semilir angin membekap pepohonan hijau rimbun menjulang. Kamarku berada di lantai empat, jadi leluasa memandang kota kecil ini tanpa halang. Dikejauhan nampak Georgetown kota tua yang dinobatkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia. Lalu aku membuka laptop, memeriksa proposal riset mendeteksi gen bakteri, yang semalam kuperbaiki sebelum hari ini bertemu lagi dengan supervisor.
***
Waktu begitu cepat melesat. Seketika membalikkan perjalanan hidupku. Aku masih tak yakin dengan semua ini. Begitu cepat Allah mengangkat mimpi dan harapan yang selalu mengejar dan mengganggu waktu tidurku, begitu menakjubkan cara-Nya. Bahkan dari sesuatu yang tak pernah kuimajinasikan. Tapi apa yang terjadi sekarang? Kemegahan Perguruan Tinggi tidak pernah singgah dan mengendap dalam otakku. Yang aku tahu bagaimana cara menguatkan langkah kaki ini untuk menaklukan terjalnya barisan bukit di pegunungan Sumbawa, yang ada dipikiranku bagaimana cara memegang alat-alat tajam menebang pohonan besar di hutan untuk membuka lahan berladang, yang aku tahu bagaimana metode menanam dan memanen, yang aku tahu bagaimana Ayah dan Emak menjadi mentor memotong rumput-rumput yang tumbuh mendesaki tanaman di ladang. Tak pernah aku membayangkan segala-galanya tentang perkembangan ilmu pengetahuan dibangku kuliah. Yang ada dipikiranku adalah bagaimana hasil berladang dapat menghidupi kami. Bagaimana tubuh ini harus kuat mengangkat batang-batang pohon ke tepi ladang untuk membangun pagar agar tidak dimasuki babi hutan, bagaimana kaki ini harus lebih kuat setiap waktu untuk mengangkut air minum dari lembah-lembah di dalam hutan, bagaimana aku harus tetap tegar menyimpan segala duka dan keprihatinan hidupku yang melarat. Bagaimana aku harus menjadi pribadi yang kokoh agar tali kekang kesedihan ditinggal kedua orangtua dalam waktu yang amat singkat tidak lepas. Ya, diumur sembilan tahun aku sudah menjadi anak yatim piatu. Kedua orangtua meninggalkanku dalam tahun yang sama, Emakku yang bernama Janeda meninggal menjelang hari ke-38 wafat Ayah. Mereka meninggalkanku ketika aku belum bisa mendapatkan sumber penghidupan, ketika aku baru belajar mengerti macam-macam warna kehidupan. Hanya rumah yang belum jadi, dua buah kursi plastik, satu buah ranjang dan prabot perlengkapan dapur yang seadanya itulah yang mereka warisi. Tidak ada harta, tidak ada televisi atau alat-alat elektronik berharga lainnya, tidak ada lemari hanya kardus-kardus dan sebuah koper tempat menyimpan baju, tidak ada gaji mereka, tidak ada tanah berhektar-hektar. Mereka menyisakan air mata. Ia, air mata yang entah kapan akan surut. Aku menjalani hidup tanpa arahan dan bimbingan dari mereka. Tetapi kematian hanyalah prihal beralihnya dimensi kehidupan. Aku tahu, Ayah dan Emak selalu hidup dan tinggal didekatku, dalam jiwaku dimanapun aku berada.
***
14 Tahun yang Lalu. Pagi Senin itu, kudapati halaman rumah ramai dengan orang-orang, ada keranda dan suara tangis yang pecah disetiap sudut ruang. Emak berlari-lari kecil ke arahku, memeluk tubuhku, tempayan di matanya menuangkan air bening. Banyak sekali. Suasana hatiku gulana, semua begitu mendadak cepat terjadi. Tiba-tiba dalam sekejap malaikat Izrail menjemput laki-laki bernama Abdul Karim nan religius itu pulang keharibaan-Nya. Dia pergi tanpa pamit-pamit meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Hatiku teriris-iris. Mataku tiba-tiba menggelantung mendung. Hatiku sakit tertusuk-tusuk duri Tripneustes gratilla. Kepergian yang mengaduk-aduk perasaanku. Kesedihan melingkupi seisi rumah. Di depan jenazahnya yang dibaluti kain kafan, seketika air mataku menjelma tasik. Kata Emak aku harus melepaskan kepergian ayah dengan ikhlas-seikhlasnya. Karenanya, Ayah memberiku nama Ridwan dengan harapan aku selalu ridha dengan apa pun yang terjadi. Perjalanan hidup bersama Ayah menguap dan menarik-narikku ke masa lalu dan segala tentangnya mengental dalam ingatan. Mengenang petuah-petuah hidup darinya, semangatku semakin terlecuti seperti kuda pacuan Sumbawa. Kemudian aku terus berlari, berlari dan berlari sejauhnya.
Sabtu kelabu sebuah peristiwa yang mengekalkan kesedihanku. Yang membuat air mataku semakin pasang. Emak terbaring kritis di ruang ICU terserang hipertensi mencapai 260 mmHg, penyakit yang sudah lama menetap sejak melahirkanku secara premature, selang oksigen terpasang dilubang hidungnya, beliau tidak berbantal, tidak ada kulihat senyum teduh di bibirnya, dimana mata yang seindah mutumanikam itu? Aku membaca do’a-do’a yang bisa kusebut, bibirku gemetar, bahkan tubuhku, detak jantungku terasa begitu cepat berdenyut, aku diam dipinggir tempat pembaringannya, apa yang kupikirkan di saat kalut seperti itu? Semua mimpi yang pernah kuceritakan ke beliau aku takut akan hilang. Lirih aku bersuara, Emak bangun, bangun, ini aku sudah ada didekatmu, buka mata Mak, lihat aku, Emak bicara, bangun. Tak berapa lama malaikat sakaratul maut ternyata sudah tiba merenggut nyawa Emak. Sekuat tenaga aku bersabar dan ikhlas. Aku jatuh terkulai. Perempuan yang sempat mengadu nasib menjadi TKW ke Negara Arab, dan berbulan-bulan ia berada di kota metropolitan terlunta-lunta. Emak batal berangkat ke Timur Tengah. Lalu dipulangkan. Kini sudah tiada, pergi untuk selama-lamanya dan tidak akan kembali lagi. Beliau begitu setia kepada Ayah menyusulnya hanya dalam waktu kurang lebih dari satu bulan.
Sepanjang perjalanan di dalam mobil ambulance yang membawa jenazah Emak ke kampung aku merasakan pikiranku melayang-layang. Aku duduk diam di dekat tubuh Emak yang tak lagi bernyawa. Sesekali meletakkan tangannya yang kaku jatuh dari posisi sedekapnya karena jalanan yang rusak. Wajahnya menyayat perasaanku. Suasana amat dingin. Mimpi dan harapanku surut. Aku mengigil. Setelah sekujur jenang raga tubuh Emak dibaluti kain kafan aku memeluknya erat, dadaku sesak, aku limbung, suaraku semakin serak ketika keranda membawa Emak ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku diam membatu seperti nisan. Ini pukulan yang teramat berat. Kepergian Emak mengguncangku. Menghantam mimpi-mimpiku. Emak adalah sumber surga dan akhiratku. Semangatku sirna. Dian sumber penerang pikiranku pergi. Ini masa-masa yang membuat hidupku seakan hilang arah, dunia ini serasa gulita bagiku. Sebagai anak kecil aku benar-benar tak siap kala itu untuk kehilangan sosok supporter sejati sepanjang sejarah hidupku. Bianglala yang melengkung di langit hatiku kini telah pudar lalu menghilang pergi tiada kembali lagi. Aku mencoba terus bertahan dan berjalan untuk kembali membangun fragment-fragment hidup. Aku terus berani menatap masa depan dengan segala tantangan. Masih terngiang suara Emak menyemangatiku bahwa jika orang lain merendahkan impianmu, abaikanlah. Tentu saja mereka bersikap meremehkan demikian. Karena itu impianmu, bukan impian mereka. Tak akan pernah lekang dalam benakku, Emak menasihatiku hiduplah seperti lebah Sumbawa. Banyaklah memberi kebermanfaatan dan kemaslahatan untuk orang-orang. Kemudian aku terus terbang seperti lebah. Terbang bersama mimpi-mimpi setinggi-tingginya.
***
Setelah gagal memasukkan proposal permohonan dana bantuan kuliah ke beberapa instansi pemerintah daerah dari kecamatan sampai pada bupati, DPRD dan Gubernur. Semuanya nonsense sampai hari ini. Aku menelan pil pahit, kecewa yang amat besar, harapanku nyaris putus. Selembar kertas yang menempel menutupi lubang pintu kamarku tertulis, “Ridhwan tahun ini kamu harus kuliah”. Sebaris kalimat itu mendorongku, memantik api semangatku untuk terus berlari seperti kuda pacuan Sumbawa. Tak lama, aku mencoba mendaftarkan diri untuk mendapatkan beasiswa Bidikmisi di Universitas Mataram. Kulampirkan semua tulisanku yang pernah termuat di koran agar tak ada alasan pihak pemberi beasiswa menolak pengajuanku. Sejurus kemudian, aku akhirnya merasakan duduk dibangku perguruan tinggi, sampai mengkhatamkan jenjang sarjana hanya tiga tahun.
Sembari bekerja aku mengikuti tes beasiswa S2 ke luar negeri. Menjelang tahap akhir, di waktu yang telah ditentukan aku membuka email. Seketika terdiam di depan laptop. “Maaf Saudara tidak lulus”, pesan yang tertera tersebut kubaca pelan-pelan lagi. Tetapi kata-kata itu tak berubah, malah semakin menghunjam ulu hati. Belajar tak mengenal tempat, membaca sebanyak-banyaknya belum membuahkan hasil. Bukannya surut, kegagalan itu memacuku untuk mendaftar lagi. Aku menyiapkan dan memperbaharui segala berkas beasiswa, aku mengirimkan essay dan rencana study ke teman-teman yang tersebar diberbagai negara untuk membaca juga meminta mereka memberikan koreksi. Aku mengikuti tes TOEFL lagi, menghubungi professor-profesor kampus tujuan agar diberikan jalan untuk mendapatkan LOA.
Di rumah aku menjadi gila bersama buku-buku TOEFL selama 16 jam tiap harinya, dan haus ilmu demi nasib pendidikan yang dipertaruhkan. Aku tidak memikirkan sama sekali tentang skenario apabila gagal, yang ada dibenak hanyalah kata “Lulus”. Menurut Al-Gazali setelah berikhtiar, rumus hidup itu hanya dua; Syukur dan sabar. Syukur jika sukses, sabar jika gagal. Syukur jika berkecukupan, sabar jika kekurangan. Begitu seterusnya. Sebagai makhluk (bukan khalik). Aku punya mimpi dan aku punya takdir. Biarkan aku bekerja untuk mimpiku dan Allah yang akan tentukan takdirku.
            Tak lama aku kembali mendaftarkan diri untuk dapat menyandang gelar sebagai Awardee beasiswa S2 ke luar negeri. Beberapa minggu dari pengiriman berkas, aku mendapatkan email untuk mengikuti tahap wawancara. Aku sepertinya dilanda demam panggung, bertatap muka dengan para interviewer lulusan luar negeri. Giliranku, namaku dipanggil. Aku berjalan dengan penuh percaya diri dalam gedung itu, tiga meja pewawancara tengah melontarkan berbagai pertanyaan kepada calon-calon penerima beasiswa. Di depan dua orang pengujiku kuletakkan 10 buku, koran-koran yang memuat tulisanku dan jurnal internasional semasa S1. Mereka hanya memberiku satu pertanyaan, apa yang akan aku lakukan ketika kembali ke Indonesia? Dua pewawancaraku sibuk membaca artikel-artikel yang kubawa. Kemudian seorang pewawancara lulusan Eropa memintaku membacakan puisi untuknya. Suaraku menggema di ruangan besar itu, semua interviewer di meja lain datang membuat video saat aku mendeklamasikan sajak berjudul Ibu itu.
Beberapa bulan aku berdebar menunggu hasil test beasiswa. Kakak angkatku tiba-tiba menerima telepon. Aku membaca raut wajahnya, aku mengartikan bahwa ada kabar dari hasil ujian beasiswa. Telepon ditutup. Aku semakin gugup, dan berusaha tenang. Pagi yang sendu dan menegangkan. Kakak angkatku tercenung lalu mengangkat wajahnya, memandang jauh, matanya berkaca-kaca, aku menerjemahkannya ada harapan yang besar. Detik itu aku langsung tahu bahwa aku lulus. Aku terhenyak. Kakak angkatku merengkuh pundakku. Tangannya yang hitam, legam, dan kasar melingkari leherku. Bibirnya merekah senyum mengembang seperti Stichodactyla gigantean.
Selama kuliah aku belajar dengan keras di atas rata-rata kebanyakan orang serta tak lupa melibatkan Allah di setiap usahaku serta do’a yang tak putus-putus. Tak sedikit pun kubiarkan waktu berlalu begitu saja. Saya tak penrah menunda-nunda! Tak kuinginkan nilai-nilaiku hancur. Kalau orang lain belajar 8 jam sehari, aku harus lebih dari itu belajar 12 jam sehari. Kalau orang lain belajar 12 jam maka aku akan belajar 24 jam sehari. Aku belajar sebanyak-banyaknya, aku membaca dimana-mana. Aku bertanya pada siapa pun jika aku tak mengerti, aku tak ingin berpura-pura tahu. Semua ini kulakukan karena aku tak ingin menyiak-nyiakan kesempatan kuliah dengan beasiswa.
Aku beberapa kali menjadi pemakalah seminar nasional dan internasional. Bahkan aku mendapat penghargaan mahasiswa berprestasi. Berbagai perlombaan karya tulis ilmiah aku menangkan, tiap tahun menjadi team berbagai proyek dosen, keliling kota-kota besar di negeri ini, menyelesaikan sarjana dan master selama empat tahun di Univerisiti Sains Malaysia adalah sungguh pencapaian yang tak pernah aku imajinasikan dengan logika manusia. Sampai berkesempatan mengabdi di lembaga riset terkemuka LIPI, dan berkarir di perusahaan di Jakarta.
            Sekarang setidaknya aku telah mematahkan profesi Ayah sebagai buruh tani dalam hidupku. Aku membayangkan jika pekerjaan kedua orangtua kuterima sebagai warisan maka hari ini aku akan merambah dan merusak hutan-hutan perawan di kampung, memegang cangkul, menyabit, menanam di ladang. Atau mengambil upah panen kacang atau memetik jagung. Setidaknya aku tak akan mewariskan pekerjaan itu ke generasi berikutnya kelak digaris keturunanku. Sedikit tidaknya aku telah menjadi indikator bahwa apa yang kuraih sebenarnya aku berhasil bangkit, menghadapi semua rintangan dan berani melawan segala keterbatasan. Karena pendidikan bagiku adalah festival. Karena pendidikan adalah lift yang mengangkat harkat derajat umat manusia dan peradaban. Sekarang aku menikmati manisnya madu dari impian-impianku. Dan akan terus kudengungkan dalam hati, “aku harus sepintar Lintang dan sesukses Ikal” seperti kisah Laskar Pelangi.
           
BIODATA PENULIS

Ridhwan Karim lahir 26 tahun yang lalu di Sumbawa, NTB. Menulis sajak dan essay. Beberapa puisinya termaktub dalam buku antologi Menyulam Sayang penyair 3 negara, juga Merajut Kasih yang terbit di Singapura, 99 Mahasiswa Berprestasi Bidikmisi terbitan Kemenristekdikti, dua buah buku kumpulan puisi pilihan Suara NTB yaitu Ironi Para Perenang dan Kembang Mata. Ridhwan Karim  (nama pena) meraih beberapa juara penulisan puisi dan cerpen. Ia membacakan sajak-sajaknya di Taman Budaya Provinsi NTB dan di perpustakaan negara Singapura. Ridhwan sekarang berkarir di Jakarta. Penulis bisa dihubungi melalui media sosial facebook Ridhwan Karim, Instagram @Ridhwan_Karim, e-mail: muhridhwan02@gmail.com, dan nomor ponsel: 081238714981.



Author Image

About bidikin
Inspiratif, Berkarya, Bermakna, Peduli

1 comment: