Cerita Anak Yatim
Piatu
Ridhwan Karim
Mimpi
Semalam. Kulihat kedua mata Emak sembab. Perlahan-lahan mengalir
butiran air bening di lereng pipinya. Lama-lama meluap dan membah. Dia menarik
tanganku, kemudian menggenggam jemariku, dan berucap lirih. Suaranya parau.
“Perjalanan
yang kita tempuh tidak pernah menampilkan dua jalan, terkadang kitalah yang
membuat dua jalan itu ada di dada kita dalam bentuk lain yakni keraguan dan
keyakinan. Ada bagian hidup yang kita inginkan
namun tidak direstui takdir. Kita punya mimpi tapi kita tidak tahu
takdir kita. Tetaplah bekerja untuk mimpimu, dan Allah yang akan tentukan
takdirnya. Belajarlah dengan keras dan jangan lupa libatkan Allah di setiap
usahamu purnakanlah dengan do’a yang tak putus-putus. Do’a itu seperti kayuhan sepeda. Jika merasa belum sampai, kayuh,
kayuh dan kayuh lagi. Mengulang-ngulang
do'a itu seperti mengayuh sepeda, cepat atau lambat pasti bakalan sampai ke
tujuannya. Ada yang cepat dan ada pula
yang lambat, bahkan harus sabar dan bersusah payah untuk menggapainya, kuncinya
cuma satu, jangan berhenti.”
Kemudian
Emak memelukku, kupejamkan mata, kurasakan kehangatan hati Emak. Ia mengecup
ubun-ubunku, ketika kubuka kelopak mataku yang mengatup sedari tadi tiba-tiba
Emak hilang dalam rengkuhanku. Kulemparkan pandangan ke segala penjuru, kosong.
Aku terperanjat kaget bangun dari tidur. Aku menghela napas panjang.
Kuingat-ingat kehadiran Emak dalam mimpiku. Mencoba memahami maksud pesannya
yang panjang itu.
Aku
bangkit dari kasur, membuka gorden dan jendela. Jam di handphone baru menunjukkan pukul 06.31 pagi, semilir angin membekap
pepohonan hijau rimbun menjulang. Kamarku berada di lantai empat, jadi leluasa
memandang kota kecil ini tanpa halang. Dikejauhan nampak Georgetown kota tua yang dinobatkan oleh UNESCO sebagai warisan
dunia. Lalu aku membuka laptop,
memeriksa proposal riset mendeteksi gen bakteri, yang semalam kuperbaiki
sebelum hari ini bertemu lagi dengan supervisor.
***
Waktu
begitu cepat melesat. Seketika membalikkan perjalanan hidupku. Aku masih tak
yakin dengan semua ini. Begitu cepat Allah mengangkat mimpi dan harapan yang
selalu mengejar dan mengganggu waktu tidurku, begitu menakjubkan cara-Nya.
Bahkan dari sesuatu yang tak pernah kuimajinasikan. Tapi apa yang terjadi
sekarang? Kemegahan Perguruan Tinggi tidak pernah singgah dan mengendap dalam
otakku. Yang aku tahu bagaimana cara menguatkan langkah kaki ini untuk
menaklukan terjalnya barisan bukit di pegunungan Sumbawa, yang ada dipikiranku
bagaimana cara memegang alat-alat tajam menebang pohonan besar di hutan untuk
membuka lahan berladang, yang aku tahu bagaimana metode menanam dan memanen,
yang aku tahu bagaimana Ayah dan Emak menjadi mentor memotong rumput-rumput
yang tumbuh mendesaki tanaman di ladang. Tak pernah aku membayangkan
segala-galanya tentang perkembangan ilmu pengetahuan dibangku kuliah. Yang ada
dipikiranku adalah bagaimana hasil berladang dapat menghidupi kami. Bagaimana
tubuh ini harus kuat mengangkat batang-batang pohon ke tepi ladang untuk
membangun pagar agar tidak dimasuki babi hutan, bagaimana kaki ini harus lebih
kuat setiap waktu untuk mengangkut air minum dari lembah-lembah di dalam hutan,
bagaimana aku harus tetap tegar menyimpan segala duka dan keprihatinan hidupku
yang melarat. Bagaimana aku harus menjadi pribadi yang kokoh agar tali kekang
kesedihan ditinggal kedua orangtua dalam waktu yang amat singkat tidak lepas.
Ya, diumur sembilan tahun aku sudah menjadi anak yatim piatu. Kedua orangtua
meninggalkanku dalam tahun yang sama, Emakku yang bernama Janeda meninggal
menjelang hari ke-38 wafat Ayah. Mereka meninggalkanku ketika aku belum bisa
mendapatkan sumber penghidupan, ketika aku baru belajar mengerti macam-macam
warna kehidupan. Hanya rumah yang belum jadi, dua buah kursi plastik, satu buah
ranjang dan prabot perlengkapan dapur yang seadanya itulah yang mereka warisi.
Tidak ada harta, tidak ada televisi atau alat-alat elektronik berharga lainnya,
tidak ada lemari hanya kardus-kardus dan sebuah koper tempat menyimpan baju,
tidak ada gaji mereka, tidak ada tanah berhektar-hektar. Mereka menyisakan air
mata. Ia, air mata yang entah kapan akan surut. Aku menjalani hidup tanpa
arahan dan bimbingan dari mereka. Tetapi kematian hanyalah prihal beralihnya
dimensi kehidupan. Aku tahu, Ayah dan Emak selalu hidup dan tinggal didekatku,
dalam jiwaku dimanapun aku berada.
***
14 Tahun
yang Lalu. Pagi Senin itu, kudapati halaman rumah ramai dengan
orang-orang, ada keranda dan suara tangis yang pecah disetiap sudut ruang. Emak
berlari-lari kecil ke arahku, memeluk tubuhku, tempayan di matanya menuangkan
air bening. Banyak sekali. Suasana hatiku gulana, semua begitu mendadak cepat
terjadi. Tiba-tiba dalam sekejap malaikat Izrail menjemput laki-laki bernama
Abdul Karim nan religius itu pulang keharibaan-Nya. Dia pergi tanpa pamit-pamit
meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Hatiku teriris-iris. Mataku tiba-tiba
menggelantung mendung. Hatiku sakit tertusuk-tusuk duri Tripneustes gratilla. Kepergian yang mengaduk-aduk perasaanku.
Kesedihan melingkupi seisi rumah. Di depan jenazahnya yang dibaluti kain kafan,
seketika air mataku menjelma tasik. Kata Emak aku harus melepaskan kepergian
ayah dengan ikhlas-seikhlasnya. Karenanya, Ayah memberiku nama Ridwan dengan
harapan aku selalu ridha dengan apa pun yang terjadi. Perjalanan hidup bersama
Ayah menguap dan menarik-narikku ke masa lalu dan segala tentangnya mengental
dalam ingatan. Mengenang petuah-petuah hidup darinya, semangatku semakin
terlecuti seperti kuda pacuan Sumbawa. Kemudian aku terus berlari, berlari dan
berlari sejauhnya.
Sabtu
kelabu sebuah peristiwa yang mengekalkan kesedihanku. Yang membuat air mataku
semakin pasang. Emak terbaring kritis di ruang ICU terserang hipertensi mencapai 260 mmHg, penyakit yang sudah
lama menetap sejak melahirkanku secara premature,
selang oksigen terpasang dilubang hidungnya, beliau tidak berbantal, tidak ada
kulihat senyum teduh di bibirnya, dimana mata yang seindah mutumanikam itu? Aku
membaca do’a-do’a yang bisa kusebut, bibirku gemetar, bahkan tubuhku, detak
jantungku terasa begitu cepat berdenyut, aku diam dipinggir tempat
pembaringannya, apa yang kupikirkan di saat kalut seperti itu? Semua mimpi yang
pernah kuceritakan ke beliau aku takut akan hilang. Lirih aku bersuara, Emak
bangun, bangun, ini aku sudah ada didekatmu, buka mata Mak, lihat aku, Emak
bicara, bangun. Tak berapa lama malaikat sakaratul maut ternyata sudah tiba
merenggut nyawa Emak. Sekuat tenaga aku bersabar dan ikhlas. Aku jatuh
terkulai. Perempuan yang sempat mengadu nasib menjadi TKW ke Negara Arab, dan
berbulan-bulan ia berada di kota metropolitan terlunta-lunta. Emak batal
berangkat ke Timur Tengah. Lalu dipulangkan. Kini
sudah
tiada, pergi untuk selama-lamanya dan tidak akan kembali lagi. Beliau begitu
setia kepada Ayah menyusulnya hanya dalam waktu kurang lebih dari satu bulan.
Sepanjang
perjalanan di dalam mobil ambulance
yang membawa jenazah Emak ke kampung aku merasakan pikiranku melayang-layang.
Aku duduk diam di dekat tubuh Emak yang tak lagi bernyawa. Sesekali meletakkan
tangannya yang kaku jatuh dari posisi sedekapnya karena jalanan yang rusak.
Wajahnya menyayat perasaanku. Suasana amat dingin. Mimpi dan harapanku surut.
Aku mengigil. Setelah sekujur jenang raga tubuh Emak dibaluti kain kafan aku
memeluknya erat, dadaku sesak, aku limbung, suaraku semakin serak ketika
keranda membawa Emak ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku diam membatu
seperti nisan. Ini pukulan yang teramat berat. Kepergian Emak mengguncangku.
Menghantam mimpi-mimpiku. Emak adalah sumber surga dan akhiratku. Semangatku
sirna. Dian sumber penerang pikiranku pergi. Ini masa-masa yang membuat hidupku
seakan hilang arah, dunia ini serasa gulita bagiku. Sebagai anak kecil aku
benar-benar tak siap kala itu untuk kehilangan sosok supporter sejati sepanjang sejarah hidupku. Bianglala yang
melengkung di langit hatiku kini telah pudar lalu menghilang pergi tiada
kembali lagi. Aku mencoba terus bertahan dan berjalan untuk kembali membangun
fragment-fragment hidup. Aku terus berani menatap masa depan dengan segala
tantangan. Masih terngiang suara Emak menyemangatiku bahwa jika orang lain
merendahkan impianmu, abaikanlah. Tentu saja mereka bersikap meremehkan
demikian. Karena itu impianmu, bukan impian mereka. Tak akan pernah lekang
dalam benakku, Emak menasihatiku hiduplah seperti lebah Sumbawa. Banyaklah memberi kebermanfaatan dan kemaslahatan
untuk orang-orang. Kemudian aku terus terbang
seperti lebah. Terbang bersama mimpi-mimpi setinggi-tingginya.
***
Setelah
gagal memasukkan proposal permohonan dana bantuan kuliah ke beberapa instansi
pemerintah daerah dari kecamatan sampai pada bupati, DPRD dan Gubernur.
Semuanya nonsense sampai hari ini.
Aku menelan pil pahit, kecewa yang amat besar, harapanku nyaris putus. Selembar
kertas yang menempel menutupi lubang pintu kamarku tertulis, “Ridhwan tahun ini
kamu harus kuliah”. Sebaris kalimat itu mendorongku, memantik api semangatku
untuk terus berlari seperti kuda pacuan Sumbawa. Tak lama, aku mencoba
mendaftarkan diri untuk mendapatkan beasiswa Bidikmisi di Universitas Mataram.
Kulampirkan semua tulisanku yang pernah termuat di koran agar tak ada alasan
pihak pemberi beasiswa menolak pengajuanku. Sejurus kemudian, aku akhirnya
merasakan duduk dibangku perguruan tinggi, sampai mengkhatamkan jenjang sarjana
hanya tiga tahun.
Sembari
bekerja aku mengikuti tes beasiswa S2 ke luar negeri. Menjelang tahap akhir, di
waktu yang telah ditentukan aku membuka email. Seketika terdiam di depan
laptop. “Maaf Saudara tidak lulus”, pesan yang tertera tersebut kubaca
pelan-pelan lagi. Tetapi kata-kata itu tak berubah, malah semakin menghunjam
ulu hati. Belajar tak mengenal tempat, membaca sebanyak-banyaknya belum
membuahkan hasil. Bukannya surut, kegagalan itu memacuku untuk mendaftar lagi.
Aku menyiapkan dan memperbaharui segala berkas beasiswa, aku mengirimkan essay dan
rencana study ke teman-teman yang tersebar diberbagai negara untuk membaca juga
meminta mereka memberikan koreksi. Aku mengikuti tes TOEFL lagi, menghubungi
professor-profesor kampus tujuan agar diberikan jalan untuk mendapatkan LOA.
Di rumah
aku menjadi gila bersama buku-buku TOEFL selama 16 jam tiap harinya, dan haus
ilmu demi nasib pendidikan yang dipertaruhkan. Aku tidak memikirkan sama sekali
tentang skenario apabila gagal, yang ada dibenak hanyalah kata “Lulus”. Menurut
Al-Gazali setelah berikhtiar, rumus hidup itu hanya dua; Syukur dan sabar.
Syukur jika sukses, sabar jika gagal. Syukur jika berkecukupan, sabar jika
kekurangan. Begitu seterusnya. Sebagai makhluk (bukan khalik). Aku punya mimpi
dan aku punya takdir. Biarkan aku bekerja untuk mimpiku dan Allah yang akan
tentukan takdirku.
Tak
lama aku kembali mendaftarkan diri untuk dapat menyandang gelar sebagai Awardee beasiswa S2 ke luar negeri.
Beberapa minggu dari pengiriman berkas, aku mendapatkan email untuk mengikuti
tahap wawancara. Aku sepertinya dilanda demam panggung, bertatap muka dengan
para interviewer lulusan luar negeri.
Giliranku, namaku dipanggil. Aku berjalan dengan penuh percaya diri dalam
gedung itu, tiga meja pewawancara tengah melontarkan berbagai pertanyaan kepada
calon-calon penerima beasiswa. Di depan dua orang pengujiku kuletakkan 10 buku,
koran-koran yang memuat tulisanku dan jurnal internasional semasa S1. Mereka
hanya memberiku satu pertanyaan, apa yang akan aku lakukan ketika kembali ke
Indonesia? Dua pewawancaraku sibuk membaca artikel-artikel yang kubawa.
Kemudian seorang pewawancara lulusan Eropa memintaku membacakan puisi untuknya.
Suaraku menggema di ruangan besar itu, semua interviewer di meja lain datang membuat video saat aku
mendeklamasikan sajak berjudul Ibu itu.
Beberapa
bulan aku berdebar menunggu hasil test beasiswa. Kakak angkatku tiba-tiba
menerima telepon. Aku membaca raut wajahnya, aku mengartikan bahwa ada kabar
dari hasil ujian beasiswa. Telepon ditutup. Aku semakin gugup, dan berusaha
tenang. Pagi yang sendu dan menegangkan. Kakak angkatku tercenung lalu
mengangkat wajahnya, memandang jauh, matanya berkaca-kaca, aku menerjemahkannya
ada harapan yang besar. Detik itu aku langsung tahu bahwa aku lulus. Aku
terhenyak. Kakak angkatku merengkuh pundakku. Tangannya yang hitam, legam, dan
kasar melingkari leherku. Bibirnya merekah senyum mengembang seperti Stichodactyla gigantean.
Selama
kuliah aku belajar dengan keras di atas rata-rata kebanyakan orang serta tak
lupa melibatkan Allah di setiap usahaku serta do’a yang tak putus-putus. Tak
sedikit pun kubiarkan waktu berlalu begitu saja. Saya tak penrah menunda-nunda!
Tak kuinginkan nilai-nilaiku hancur. Kalau orang lain belajar 8 jam sehari, aku
harus lebih dari itu belajar 12 jam sehari. Kalau orang lain belajar 12 jam
maka aku akan belajar 24 jam sehari. Aku belajar sebanyak-banyaknya, aku
membaca dimana-mana. Aku bertanya pada siapa pun jika aku tak mengerti, aku tak
ingin berpura-pura tahu. Semua ini kulakukan karena aku tak ingin
menyiak-nyiakan kesempatan kuliah dengan beasiswa.
Aku beberapa kali menjadi pemakalah seminar nasional dan
internasional. Bahkan aku mendapat penghargaan mahasiswa berprestasi. Berbagai
perlombaan karya tulis ilmiah aku menangkan, tiap tahun menjadi team berbagai
proyek dosen, keliling kota-kota besar di negeri ini, menyelesaikan sarjana dan
master selama empat tahun di Univerisiti Sains Malaysia adalah sungguh
pencapaian yang tak pernah aku imajinasikan dengan logika manusia. Sampai
berkesempatan mengabdi di lembaga riset terkemuka LIPI, dan berkarir di
perusahaan di Jakarta.
Sekarang
setidaknya aku telah mematahkan profesi Ayah sebagai buruh tani dalam hidupku.
Aku membayangkan jika pekerjaan kedua orangtua kuterima sebagai warisan maka
hari ini aku akan merambah dan merusak hutan-hutan perawan di kampung, memegang
cangkul, menyabit, menanam di ladang. Atau mengambil upah panen kacang atau
memetik jagung. Setidaknya aku tak akan mewariskan pekerjaan itu ke generasi
berikutnya kelak digaris keturunanku. Sedikit tidaknya aku telah menjadi
indikator bahwa apa yang kuraih sebenarnya aku berhasil bangkit, menghadapi
semua rintangan dan berani melawan segala keterbatasan. Karena pendidikan
bagiku adalah festival. Karena pendidikan adalah lift yang mengangkat harkat derajat umat manusia dan peradaban.
Sekarang aku menikmati manisnya madu dari impian-impianku. Dan akan terus
kudengungkan dalam hati, “aku harus sepintar Lintang dan sesukses Ikal” seperti
kisah Laskar Pelangi.
BIODATA
PENULIS
Ridhwan Karim lahir 26 tahun yang
lalu di Sumbawa, NTB. Menulis sajak dan essay. Beberapa puisinya termaktub
dalam buku antologi Menyulam Sayang penyair 3 negara, juga Merajut Kasih yang
terbit di Singapura, 99 Mahasiswa Berprestasi Bidikmisi terbitan Kemenristekdikti,
dua buah buku kumpulan puisi pilihan Suara NTB yaitu Ironi Para Perenang dan
Kembang Mata. Ridhwan Karim (nama pena)
meraih beberapa juara penulisan puisi dan cerpen. Ia membacakan sajak-sajaknya
di Taman Budaya Provinsi NTB dan di perpustakaan negara Singapura. Ridhwan
sekarang berkarir di Jakarta. Penulis bisa dihubungi melalui media sosial facebook Ridhwan Karim, Instagram @Ridhwan_Karim, e-mail:
muhridhwan02@gmail.com, dan nomor ponsel: 081238714981.
Terimakasih Min sudah berkenan publish.
ReplyDelete