BANDUNG, itb.ac.id - Untuk dapat meraih gelar sarjana tentu bukan
perkara mudah. Banyak rintangan dan tantangan harus dilewati. Namun
tentu itu bukanlah sebagai penghambat dalam berkarya, sebab selalu ada
jalan keluar asal kita mau berusaha dan sungguh-sungguh menghadapinya.
Kesan itu sepertinya layak disematkan kepada Reni Romaulina,
wisudawati dari jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan ITB. Perjuangannya patut diapresiasi meskipun di tengah
aktivitas kuliahnya, ia harus dihadapkan pada persoalan berat menjadi
tumpuan keluarga sebab kedua orangtua sudah tiada.
Gadis
kelahiran Bandung, 20 Oktober 1995 ini awalnya tidak begitu percaya
diri ketika masuk di jurusan Teknik Lingkungan. Faktor yang mempengaruhi
ketidakpercayaan diri itu muncul karena melihat ekonomi keluarga.
Ayahnya sudah tidak ada, kemudian ibu yang harus bekerja menghidupi
empat orang anaknya.
Akan tetapi, ibu selalu
mendukung langkahnya untuk tetap berkuliah. Ia akhirnya dapat memperoleh
beasiswa bidikmisi selama kuliah di ITB. Namun ketika di akhir semester
kedua, Reni harus menerima kabar bahwa ibunya divonis oleh dokter
mengidap kanker otak stadium 4. Hal itu sangat berat baginya, mengingat
dokter telah memprediksi bahwa umur ibunya tidak lama lagi.
"Saya
benar-benar tidak tahu ketika itu apakah lanjut kuliah atau tidak
dengar mamah kena kanker otak, sementara adik saya ada tiga orang dan
masih kecil. Saya pulang ke Purwakarta lalu saya harus datangi mamah
saya dengan happy, seolah tak terjadi apa-apa, itu kan berat. Saya
bahkan ke kamar mandi menangis dulu sejadi-jadinya terus saya bilang ke
mamah saya sampai akhirnya satu tahun mamah saya tidak tahu bahwa
dirinya terkena kanker otak," cerita Reni dengan mata berkaca-kaca.
Ditempa
ujian tersebut, Reni sempat berpikir untuk berhenti kuliah. Karena
harus mengurusi keluarga, rumah sakit, dan adik-adiknya. "Tapi saya
dinasehati keluarga, kalau kamu berhenti kuliah terus adik-adik kamu
nanti seperti apa, kalau kamu berhenti, perjuangan mamah selama ini
sia-sia mamahkan sudah anterin kamu ke titik ini, sampai akhirnya saya
berpikir lagi pada akhirnya saya bolak-balik Purwakarta Bandung untuk
mengurus ibu saya," katanya.
Selama dua tahun
kuliah, Reni merasakan kuliahnya keteteran. Beruntung dia punya teman
yang mau membantunya ketika tertinggal materi kuliah, dibantu pula oleh
KM ITB supaya dirinya tidak cuti kuliah. Dia juga mengaku beruntung
karena mempunyai dosen-dosen baik mengerti keadaannya.
"Syukurlan
dosen-dosen sangat mengerti keadaan dan tidak menurunkan standar
penilaiannya, itu saya hargai sekali karena saya juga tidak mau kalau
dapat nilai dari belas kasihan. Mereka selalu menyemangati, bahkan
memberikan dana. Sampai akhirnya mamah saya dipanggil Tuhan, itu adalah
masa terberat saya ketika di semester tujuh, beratnya (lagi) saya sangat
ketinggalan materi kuliah yang banyak tapi teman selalu membantu
menjelaskan materi yang terlewat. Mereka ada yang meminjamkan catatan,"
ujarnya.
Meskipun dihadapi ujian terberat dalam
hidupnya, Reni tetap bangkit. Faktor yang membuat dirinya bangkit
adalah karena adik-adiknya dan perjuangan ibunya selama ini sampai
dirinya kuliah. "Saya gak mau mengorbankan perjuangan mamah saya sampai
akhirnya sakit dan dipanggil Tuhan. Sekarang memang jadi tumpuan
keluarga, ngurusin uang, makanan, pendidikan, biaya kontrakan di
Purwakarta, biaya hidup di Bandung, dan yang berat itu mendidik
adik-adik saya apakah benar atau enggak," ungkapnya.
Untuk
kebutuhan ekonomi, sewaktu kuliah ia sering ikut kelas bisnis lalu
diaplikasikan dengan usaha jualan buku, bantu promo jasa. Apapun
dilakukan untuk menambah keuangan keluarga. Reni pun sering mencari
promo-promo di toko untuk dijual kembali kepada temannya.
Tetap Berprestasi
Tak
berlama-lama larut dalam kesedihan, Reni akhirnya berpikir bahwa selama
kuliah dirinya harus menghasilkan prestasi dengan ikut kompetisi. Ia
pun mengikuti Lomba Inovasi Sains (Invasi) Nasional kategori instrumen
produk unggulan dengan penelitian mengenai "Elektrokoagulasi sebagai
metode pengolahan limbar cair coolant".
Dalam
lomba yang digelar 31 Agustus - 2 September 2018 di Universitas Udayana
Bali itu, Reni keluar sebagai juara pertama mengalahkan mahasiswa dari
kampus-kampus lainnya di Indonesia. Perlombaan tersebut dimulai dari
proses seleksi abstrak pada Mei 2018 dan naskah. Selanjutnya masuk
penyisihan dan final pada 1-2 September. Peserta yang lolos wajib
mengikuti rangkaian presentasi hasil karya dan diuji oleh dewan juri.
Dan diakhir lomba diadakan pameran karya."Saya melakukan penelitian
tersebut kurang lebih 4 bulan dan hampir tiap malam di laboratorium,"
ujarnya.
Karya yang saya buat ini adalah metode
untuk pengolahan limbah. Limbah yang saya ambil merupakan limbah
coolant yang sangat sulit diolah secara konvensional.
Limbah
bernama coolant tersebut dijelaskannya, mempunyai karakteristik
kontaminan sangat tinggi. Biasanya berasal dari limbah hasil perakitan
mobil. Karena sulit diolah maka biaya pengolahannya pun mahal.
Reni
bercerita, sewaktu percobaan sempat mengalami putus asa sebab dua bulan
percobaan tidak ada hasil sama sekali. "Sebenarnya biaya penelitian
saya cukup mahal terutama dalam membeli elektroda. Total saya sudah
menghabiskan 450 elektroda," katanya.
Cerita
lainnya, sewaktu akan presentasi hal limbah di Bali, dia kesulitan
karena alat limbahnya tidak bisa masuk ke pesawat. Karena hal tersebut,
ia akhirnya memutuskan mengambil limbah lain untuk diujicobakan ketika
lomba. "Elektrokoagulasi ini kan mampu mengolah limbah yang
kontaminannya tinggi, berarti limbah dibawahnya tetap bisa. Saya lalu
mencari limbah dari Laundry di Bali walaupun tidak tahu kemana karena
tidak punya teman juga, sampai akhirnya bisa pameran dengan
mempraktekkan melalui limbah laundry," ceritanya.
Alatnya
itu akhirnya bekerja dengan baik ketika dipamerkan. Bisa terlihat
secara visual perubahan dari warna yang tadinya sangat keruh bisa
menjadi bening dengan elektroda yang ia gunakan, apalagi limbah laundry
dalam hitungan menit langsung berubah. Itu disebabkan kontaminannya
rendah jadi alat dapat bekerja lebih cepat. Meskipun masih skala lab,
namun Reni bisa mengalahkan pesaingnya dari kampus lain yang menampilkan
alat penjernih air yang sudah dipraktekkan langsung di Lombok ketika
bencana gempa bumi.
Bagi Reni, setiap orang
mempunyai masalahnya masing-masing. Tapi yang membedakan adalah
bagaimana cara kita menghadapi masalah tersebut. "Jangan pernah berhenti
berharap karena Tuhan pasti sediakan jalan buat kita, kejar terus mimpi
jangan kalah dengan keadaan, karena sebetulnya keadaanlah yang
membentuk kita," pesannya.