Friday, December 28, 2018

KU RINDUKAN CINTA ITU DI PULAU BORNEO

0
  KU RINDUKAN CINTA ITU DI PULAU BORNEO

Hari itu tepat minggu kliwon tanggal 28 januari 1996, di naungi rumah sempit yang tak begitu megah dengan cahaya lampu petromak tangisan bayi memecah heningnya pagi kala itu. Tepat pukul 04.00 pagi seorang bayi perempuan lahir kedunia, tangisan bahagia kedua orang tua bernama Tasiyah dan Ahmad Sudiono pun pecah. Tak  lama kemudian, suara adzan terdengar. Meskipun begitu, nampaknya sang ibu tak boleh berlama-lama menggendongku karena tubuh bayi itu terlalu lemah. Ya, bayi itu lahir prematur. Berat nya sekitar 1,3 kg, mereka memberi nama bayi itu Nur Lathifah yang berarti Cahaya Lembut. Aku pun kemudian dibawa ke rumah Nenek ku di Patimuan, disana sudah ada listrik meskipun hanya 5 watt. Ibuku dengan kondisi lemah terpaksa harus beristirahat di rumah, dan aku diantar oleh Mbah putri dari Ibu. Setelah 3 hari di tempat mbah, ternyata keadaan ku semakin hari semakin lemah.
Kemudian mereka mengantarkan ku ke rumah sakit Cilacap di kota, jaraknya sekitar 2  jam perjalanan.

Di dalam mobil, saya diantar oleh kerabat-kerabat tanpa ibu. Hingga ketika setengah perjalanan, tepat di kawasan hutan pinus pukul 2 pagi mobil yang membawaku terpaksa berhenti karena aku sudah tidak mau menangis dan bergerak di pangkuan mbah. Semua panik, mereka terus berusaha membangunkan aku dan akhirnya aku mau bergerak, mbah pun memberikan asi yg sudah ibuku siapkan di dalam botol. Sesampainya di Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap saya langsung dimasukan kedalam inkubator kurang lebih 2 bulan. Kerabat dan tetangga tidak akan menyangka mahluk sekecil botol seprite akan bisa hidup dengan segala cita-cita dan impian-impian nya. Tapi itulah kuasa Tuhan.

1 tahun kemudian..

Hari-hari berganti menjadi tahun, aku hidup dengan kedua orang tuaku di sebuah desa kecil bernama Cinyawang. Sebuah rumah berukuran 5x3 meter menjadi tempat aku berusaha meraih semua mimpi-mimpi ku dan merasakan hangat nya kasih sayang kedua orang tua ku. Aku bersyukur, meskipun Bapak ku hanya sorang penyadap nira dan ibu ku seorang pedagang warung kecil-kecilan di rumah aku bisa menghabiskan masa kecil ku di kampung ini. Tetangga sekitar rumahku kerapkali sering menggunjing keluargaku karena dari 7 keluarga besar dari Bapak kami¸ hanya keluarga kami lah yang hidupnya pas-pasan. Aku kerapkali ikut belanja ibu ke pasar dengan menaiki sepeda, pasar itu cukup jauh jaraknya dari rumah kami sekitar 4 kilo. Dengan bersusah payah dan penuh keringat ibuku tetap tersenyum dan sesekali membelikan aku jajan. Kemudian usia ku menginjak 6,5 tahun, aku pun dimasukan ke dalam sekolah dasar di dekat rumahku. SDN Cinyawang 02 merupakan salah satu SD favorit di Kecamatan ku, aku masuk sekolah kelas 1 mendapatkan nilai 0 pada mata pelajaran matematika. Saat pulang pun aku tak pernah dimarahi oleh ibu maupun Bapak ku, mereka selalu menyuport dan menemani ku belajar. Hingga pada saat aku kelas 3, aku dikaruniai adik laki-laki namanya Muhammad Nur Fikri. Ditengah-tengah lingkungan sosial yang cukup tertekan, aku berusaha untuk menjadi anak yang pintar supaya keluarga ku tidak disepelekan oleh tetangga. Menginjak kelas 4 SD, aku berhasil menjadi juara 1 lomba lukis di popda seni, kemudian saat kelas 6 aku kembali mengikuti lomba mapel IPA tingkat karisidenan. Hingga pada akhirnya aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan, aku masuk ke SMP N 1 Patimuan. Sekolah favorit di daerah ku, para tetangga terus sensi terhadap apa yang keluarga kami dapatkan. Saat kelas 7, aku mendapatkan rangking 1 dan saat kelas 8 aku mengikuti olimpiade lomba mapel IPS di Kota. Hingga saat Ujian Nasional tiba, aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Aku diterima dan mendapatkan beasiswa penuh disalah satu SMA favorit di kota Cilacap yaitu SMAN 3 Cilacap yang Berstatus RSBI. Aku tak pernah menyangka anak desa dengan keadaan ekonomi rendah bisa melanjutkan sekolah ke tingkat menengah atas dengan beasiswa penuh. Rasanya kebahagiaan itu benar-benar komplit saat itu, akan tetapi itu lah ujung sebuah perpisahan. Tepat ketika saya pulang sekolah untuk mengurus berkas-berkas, Bapak ku sudah di rumah akan tetapi aku tak melihat ibu di rumah. Bapak kemudian berkata "Bapak sangat bangga padamu, sekolah lah yang giat dan rajin. Terima kasih sudah membahagiakan kami, Bapak dan mama akan pergi. Suatu saat pasti kita akan bertemu lagi, jaga diri baik-baik di tempat Pakdhe" aku pun tak kuasa menahan tangis, Bapak kemudian memeluk ku seraya berkata "maafin Bapak ndho, belajar yang rajin biar kamu ga kaya Bapak. Hidupnya susah, dihina-hina dan disepelekan orang" aku tak mampu berucap apapun, hanya sebuah anggukan. Itulah pelukan terakhir Bapak yang aku rasakan tanpa melihat ibu. Saat aku bertanya, "Bapak akan pergi ke mana? Mama mana?" beliau hanya menjawab "Bapak akan pergi keluar desa, entah kemana. Yang jelas Bapak sudah tidak tahan lagi dengan orang-orang disini, mama sedang ke pasar". Aku mengira bahwa mungkin mama tak snggup untuk melihat ku, beliau adalah orang yang sangat sabar, lembut dan penyayang. Aku tak menyangka, apakah alasan mereka meninggalkan ku di usia 15 tahun? Hingga pada saatnya aku harus pergi ke Cilacap untuk menuntut ilmu, Bapak mengantarkan ku ke seberang jalan untuk naik bus. Di dalam bus aku melihat lambaian tangan Bapak kepadaku untuk terakhir kalinya. Dada ini rasanya sesak sekali, air mata pun membasahi pipiku.

1 minggu kemudian..

Di tempat Pakdhe, saya masih belum bisa beradaptasi secara penuh. Aku terus memikirkan kedua orang tuaku dan mencari sebab mengapa mereka pergi. Hingga pada suatu sore, budhe dan Pakdhe menghampiriku. Pakdhe berkata "Fah, sing legowo ya.. Bapak dan mama mu pergi ke Kalimantan. Engga bilang ke Ifah, supaya tidak kepikiran. Yang penting ifah sudah sama Pakdhe, belajar yang rajin. Biar Bapak ibumu bangga" aku hanya duduk diam tak berkata apapun, dalam hati ini berkecamuk. Rasa sedih, marah, rindu bercampur menjadi satu. Mengapa Tuhan timpakan ini pada saya? Mengapa kami tak sama seperti mereka yang hidupnya serba kecukupan dan bisa kumpul dengan kedua orang tua mereka? Pertanyaan itulah yang berkecamuk dalam diri ini. Malam itu aku tak bisa tidur, hingga ke esokan harinya, nilai ulangan ku jeblok. Selama kedua orang tuaku pergi kurang lebih 1 minggu an, mereka belum pernah menghubungiku. Sms-sms dari orang tak dikenal terus meneror hp ku. Salah satu pesan nya yaitu: "No, siki kowe nang ndi? Tak parani ne..!" aku kaget bukan kepalang, Bapak ku di cari-cari orang tak dikenal. Aku pun sempat beberapa kali di telpon oleh orang tak dikenal yang marah-marah dan mencari Bapak ku sembari melontarkan ancaman akan membunuh. Dengan keadaan takut, cemas dan bimbang akhirnya aku ganti nomor. Sebenarnya apa yang terjadi? Karena Pakdhe pun, tak menjelaskan kenapa kedua orang tua ku pergi. Bapak ku memiliki masalah pelik dan beberapa hutang yang jumlah nya jutaan. Mereka lakukan untuk membiayai sekolah dan kehidupanku.. Akupun syok,dan hanya bisa berdoa pada Tuhan, untuk senantiasa diberikan keslamatan untuk kedua orang tuaku.

Saat aku kelas XI aku mendapatkan juara harapan 1 lomba roket air tingkat kabupaten Cilacap, aku pun menjadi finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, dan penelitian di Candi Borobudur untuk pertama kalinya. Saat dikelas XI pula, aku diberikan kepercayaan untuk mengikuti kelas Olimpiade Kebumian tingkat Kabupaten Cilacap, meskipun tidak juara aku sungguh bersyukur mendapatkan segala pengalaman ini. Saat Bapak ibuku pergi meninggal kan ku sejak masuk SMA, aku pulang ke tempat mbah dari ibu. Tempat dimana dulu aku dilahirkan dengan segala kekurangan yang ada¸saat liburan datang aku yang merawat mbah ku ketika sakit parah. Namun ketika hari jumat, Allah ternyata memanggil mbah ku ke pangkuan-Nya. Aku sendiri.. Ya, saat itu aku merasa sendiri. Kedua orang tua ku pergi, mbah ku juga pergi untuk selama-lamanya.

Kemudian, hari berganti tahun. Aku benci ketika idhul fitri tiba,,Tiap kali hari itu datang, tekanan dalam diri ini terus bergejolak. Ada sebuah tradisi dalam keluarga besar Bapak ku, yaitu kumpul keluarga saat hari lebaran kedua. Disana ada kegiatan arisan keluarga, saling bertukar informasi mengenai keadaan keluarga mereka masing-masing, menceritakan segala perkembangan maupun "membanggakan" anak nya masing-masing. Lalu apa yang harus aku ceritakan dan banggakan ditengah mereka? Aku hanya seorang anak yang bertugas "mewakili" Bapak ibu ku disetiap acara keluarga. Meskipun demikian, aku tetap bangga pada diriku sendiri. Alloh memberikan cobaan ini padaku karena aku kuat dan mampu. Dengan segala kondisi itulah aku tumbuh menjadi anak yang mandiri. Hingga aku bertekad, aku kan mampu menjunjung martabat kedua orang tua ku di depan semua orang termasuk saudara-saudaraku.

Aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan, aku mencoba jalur bidikmisi di SNMPTN Universitas Negeri Senarang. Syarat-syarat yang harus di penuhi memang cukup berat, Bapak ibuku yang saat itu sudah pindah ke Kalimantan Tengah (Palangkaraya) harus rela naik motor hujan-hujanan bolak balik ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan untuk mengambil foto rumah yang hanya seukuran kurang lebih 3x3 meter. Melihat semua usaha yang Bapak ibuku lakukan untuk ku, aku tak mau menyia-nyiakan nya. Aku melengkapi semua berkas-berkas bidikmisi lewat warnet di kota. Karena tempat tinggal ku jauh dari akses internet. Hingga pada saat nya tiba, aku membuka pengumuman SNMPTN di rumah pakdhe ku, aku diterima dengan beasiswa bidikmisi..! Bahagia dan rasa haru biru benar benar aku rasakan. Bahkan aku menjadi satu-satunya siswa yang di terima jalur undangan di UNNES, akupun segera telpon ibuku. "Mamah, aku diterima kuliah di UNNES jalur undangan dengan beasiswa bidikmisi" tapi setelah itu, tak terdengar suara apa pun di dalam telpon. 2 menit kemudian, telpon itu terputus. Aku bingung, mengapa ibu ku tak berkata apa pun dan menutup telpon nya? Tak lama kemudian, masuk sms "Alhamdulillah ndho, Bapak mama ikut seneng. Mama gak bisa berkata apapun, ini rencana Alloh buat kita. Belajar yang rajin, supaya nasib mu tidak seperti Bapak mama. Yakinlah suatu saat kita pasti bisa ketemu lagi, mama sayang ifah" aku membaca sms tersebut sambil berderai air mata. Karena aku percaya Tuhan mendengar lebih apa yang kita ucapkan¸menjawab lebih dari yang kita pinta dengan waktu dan cara-Nya sendiri.

1 Ramadhan..

saat aku hendak belajar kelompok dan aku membawa laptop sepupuku, aku di rampok di tengah jalan. Aku syok bukan kepalang, kubawa kaki ini terus melangkah mencari masjid terdekat, karena hanya kepada Nya lah aku meminta tolong. Tak lama kemudian, aku bertemu dengan seorang ibu-ibu dan memberiku uang 14.000 rupiah untuk berbekal pulang. Sungguh maha besar Alloh¸Dia tak pernah membiarkan hamba-Nya dalam kesulitan sendirian. Hati ini berkecambuk tak karuan, rasa haru biru memenuhi dada ini. Berbekal dengan uang 14.000 aku pun dapat pulang sendirian sekitar 2 jam ke kota Cilacap. Di sepanjang perjalanan aku terus menangis, tak percaya dengan keadaan yang baru saja menimpaku. Bayang-bayang budhe dan pakdhe ku terus menghantui pikiran ku, apa yang harus aku katakan pada mereka? Kalau laptop saudara sepupu ku di jambret orang?? Uang tunai senilai 350.000, kartu tanda mahasiswa, KTP dan ATM untuk bidikmisi pun hangus. Hari itu tepat hari pertama bulan ramadhan. Setiba nya di Cilacap, aku berusaha ke kantor polisi untuk melaporkan apa yang telah terjadi padaku. Pertama kalinya aku dengan berani memasuki pusat kantor polisi kabupaten seorang diri dengan modal nekat, harapan ku hanya satu.. Orang itu bisa terlacak..! Setelah memasuki kantor polisi, hasilnya nihil.. Karena aku tak hafal nomor motornya. Melihat badanku yang kurus kering, lemas dan putus asa kemudian aku diajak oleh salah seorang anggota polisi untuk berbuka bersama. Aku disuguhi teh manis hangat dan roti. Selepas itu pun, aku memberanikan diri untuk pulang ke rumah, mengumpulkan seluruh energi dan mental untuk berkata yang sesungguhnya. Sesampainya di rumah, aku menghadap budhe ku dan berkata apa yang telah terjadi dengan deraian air mata penyesalan. Awalnya budhe ku marah dan kaget bukan kepalang, aku terus memegang tangan nya sembari meminta maaf dengan badan yg bergetar hebat. Akhirnya budheku memaafkan ku, dan bilang bahwa "besok ketika kamu udah ada uang dan sukses, ganti laptop itu!!" dan aku mengiyakan permintaan beliau. Semua masalah yang aku alami, tak pernah kuceritakan pada kedua orang tuaku, aku tahu mereka sangat khawatir dan memikirkan ku. Segala permasalahan dan himpitan ekonomi yang melanda Bapak ibuku, aku tak mungkin menambah beban hidupnya. Bapak ku bekerja sebagaui buruh bangunan dan ibuku bekerja di sebuah toko. Akan tetapi Bapak ku akhirnya keluar dari proyek pembuatan rumah karena hasil kerjanya selama 3 bulan tidak dibayar, Bapak pun berpindah menjadi tukang las. Aku sungguh merindukan cinta yang dulu aku rasakan, kini hanya bisa bertemu dalam setiap doa. Masa-masa sulit tentu sering aku alami saat duduk dibangku perkuliaan, saat uang bidikmisi belum turun dan aku arus segera membayar kekurangan uang kos sebesar 1,2 juta. aku tak mungkin menceritakan segala kesulitan ku pada bapak ibuku. Karena sulitnya mencari part time disekitar UNNES, akhirnya Alloh memberikan aku jalan. Aku membantu mengola data lapangan penelitian dosen yang saat ini S3 di Belanda. Uang 1,2 juta pun aku terima atas pekerjaan itu.

Hingga pada suatu massa, aku mendengar kabar bahwa ibuku akan melahirkan anak ke 4 nya. Mereka membutuhkan dana sekitar 5 juta untuk biaya persalinan, kabar itu aku dapat dari grup whattshap keluarga. Aku kaget dan sedih¸karena mereka tak pernah menyeritakan padaku. Tak pernah terlintas di dalam pikiranku¸ untuk makan sehari-hari saja mereka terkadang masih bingung apalagi harus menanggung 1 anggota keluarga baru dengan biaya persalinan 5 juta. Semalaman aku menagis mendengar kabar itu, pikiran ini terus saja memikirkan kedua orang tuaku. Tetapi, disitulah kuasa Tuhan, Ia menolong kedua orang tuaku dengan cara-Nya sendiri. Aku pun membelikan beberapa perlengkapan bayi senilai 300.000 untuk meringankan kedua orang tuaku.

Dari kisah yang sederhana ini, semoga teman-teman bisa bersyukur betapa berharganya dapat melihat, memeluk kedua orang tua dengan rasa syukur berada di sampingnya.. Jangan pernah menyesali keadaan yang membuatmu terluka, karena itu cara Tuhan untuk mendewasakan mu, dan percaya saja dia punya rencana indah untukmu.. dan aku menunggu hingga waktu itu tiba.. Entah kapan..
Author Image

About bidikin
Inspiratif, Berkarya, Bermakna, Peduli

No comments:

Post a Comment